tertentu saja, sehingga lahirlah pengobatan massal. Pemberantasan TB paru
diintegrasikan dengan Puskesmas dimana diagnosa TB Paru ditegakkan hanya atas |
penemuan BTA (+) secara langsung dari sputum penderita. |
6) Baru pada permulaan Pelita I tahun 1969 Program Pemberantasan TB Paru di |
laksanakan secara nasional dengan vaksinasi BCG terhadap anak umur 0-14 tahun |
secara langsung tanpa di dahului oleh test mantoux di seluruh Indonesia. Pengobatan |
dengan paduan OAT yang lebih efektif dan, masa pengobatan yang pendek yang |
memakai Rifampisin makin ditingkatkan pada permulaan Pelita III setelah uji coba |
7) Program pemberantasan TB paru yang dilakukan sampai sekarang adalah: |
b. Penemuan kasus secara pasif dan aktif |
c. Pengobatan dan pengobatan ulang terhadap penderita TB |
Pemberantasan TB paru secara Nasional di Indonesia telah berlangsung 30 tahun |
sejak tahun 1969 namun hasilnya belum memuaskan. Penyakit tuberkulosa adalah |
penyakit infeksi biasa dimana kuman penyebabnya telah diketahui dan obat-obat untuk |
mengatasinya cukup efektif dan telah mengalami kemajuan pesat. Tetapi |
penanggulangannya dan pemberantasannya sampai saat ini masih belum memuaskan. |
Apalagi di saat sekarang ini negara kita mengalami krisis berkepanjangan dalam |
tahun-tahun terakhir ini, bahkan di negara majupun masalah ini muncul kembali karena penyakit HIV-AIDS sehingga WHO pada tahun 1993 mengumumkan
GLOBAL penyakit HIV-AIDS sehingga WHO pada tahun 1993 mengumumkan juga |
|
GLOBAL EMERGENCY terhadap TB paru. |
II. PERMASALAHAN PENGOBATAN TB PARU |
Banyak faktor yang mempengaruhi keberadaan penyakit ini. Disamping faktor |
medis, faktor sosio ekonomi dan budaya, sikap dan perilaku orang terhadap penyakit ini |
sangat mempengaruhi keberhasilan dalam penanggulangan penyakit ini. |
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan : |
• Tersedianya obat yang cukup dan kontinu |
• Oedikasi petugas pelayanan kesehatan yang baik |
• Pemberian regimen OAT yang adekuat |
• Pengetahuan pendenta yang cukup mengenai penyakit TB Paru, cara |
pengobatan dan bahaya akibat berobat tidak adekuat |
• Menjaga kondisi tubuh yang baik dengan makanan bergizi, cukup |
istirahat, hidup teratur dan tidak minum alkohol atau merokok. |
• Menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan tidak membuang dahak |
sembarangan, bila batuk menutup mulut dengan saputangan, jendela |
rumah cukup besar untuk mendapat lebih banyak sinar matahari. |
• Tidak perlu merasa rendah diri atau hina karena TB paru adalah penyakit |
infeksi biasa dan dapat disembuhkan bila berobat dengan benar |
• Kesadaran dan tekad penderita untuk sembuh |
C. Faktor keluarga dan masyarakat lingkungan |
• Dukungan keluarga sangat menunjang keberhasilan pengobatan seseorang |
dengan selalu mengingatkan penderita agar makan obat, pengertian yang |
dalam terhadap penderita yang sedang sakit dan memberi semangat agar |
Situasi krisis berkepanjangan yang melanda negara kita dalam tahun-tahun |
terakhir ini, makin memperburuk situasi karena menurunnya status gizi sebagai akibat krisis ekonomi menyebabkan turunnya status kekebalan tubuh manusia, |
sehingga makin menyebabkan makin meluasnya penyebaran penyakit ini. |
Pada saat ini telah terjadi penyebaran strain kuman resisten majemuk (MDRTB) |
yang menjadi kedaruratan "HOT ZONE" di dunia termasuk Indonesia yang biayanya 100 x lebih mahal. |
William J. Burman dkk dari University of Colorado Health Sciences Center, |
Denver, menganalisa data pasien TB Paru berobat jalan dengan DOT (Directly Observed Therapy) dari tahun 1984-1994 di The Denver Metro Tuberculosis Clinic,diperoleh |
informasi bahwa Program Tuberkulosis Kontrol di perkotaan dengan DOTS, yang |
mengalami kegagalan umumnya disebabkan karena berhubungan dengan |
faktor peminum alkohol dan gelandangan. |
Pada tahun 1994, pemerintah Indonesia bekerjasama dengan badan Kesehatan |
Dunia (WHO), melaksanakan suatu evaluasi bersama ("WHO-Indonesia Joint |
Evaluation") yang menghasilkan rekomendasi Perlunya segera dilakukan perubahan |
mendasar pada strategi penanggulangan TB di Indonesia, yang kemudian disebut sebagai |
"STRATEGI DOTS" Sejak itu dimulailah era baru pemberantasan TB di Indonesia. |
Istilah DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) dapat diartikan sebagai |
pengawasan langsung menelan obat jangka pendek. setiap hari oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). |
Tujuannya mencapai angka kesembuhan yang tinggi, mencegah putus berobat, |
mengatasi efek samping obat jika timbul dan mencegah resistensi. |
Sebelum pengobatan pertama kali dimulai DOTS harus dijelaskan kepada pasien |
tentang cara dan manfaatnya. Seorang PMO harus ditentukan dan dihadirkan di poliklinik untuk diberi penerangan tentang DOTS dan tugas-tugasnya. |
PMO haruslah seseorang yang mampu mernbantu pasien sampai sembuh selama 6 bulan dan sebaiknya merupakan anggota keluarga pasien yang diseganinya. |
Ada 5 kunci utama dalam strategi DOTS yaitu: |
2. Diagnosa yang benar dan baik |
3. Ketersediaan dan lancarnya distribusi obat |
4. Pengawasan penderita menelan obat |
5. Pencatatan dan pelaporan penderita dengan sistem kohort |
Hasil evaluasi pada tahun 1998 menggambarkan bahwa cakupan penemuan |
penderita baru mencapai 9,8% dengan angka keberhasilan mencapai 89%, sehingga |
WHO menggolongkan kita sebagai negara dengan penyelenggara program yang baik |
tetapi ekspansi sangat lambat. Kajian data ini mendapatkan dari Puskesmas pelaksana program DOTS yang baru mencapai lebih kurang 40% |
dari 7000 Puskesmas dan Rumah Sakit yang ada. |
Telah dilakukan suatu studi analisa oleh William J. Burman dkk. Dari University |
of Colorado Health Sciences Center, Denver, pada tahun 1994 yang membandingkan |
biaya dan keefektifan DOTS dibanding dengan pengobatan secara mandiri (SAT=Self |
Administreted therapy) terhadap pengobatan Tuberkulosa aktif di rumah sakit pemerintah |
di Denver. Mereka mengkaji data biaya rata-rata perpasien pada era pengobatan dengan |
SAT (Januari 1980 hingga Desember 1992) dan data pada era DOT (November 1986 |
hingga Desember 1992). Hasilnya total biaya pengobatan dengan DOT dan SAT tidak |
jauh berbeda ($1,206 vs $1,221 perpasien ), tetapi DOT menjadi lebih mahal bila nilai |
waktu diperhitungkan. Kalau biaya kekambuhan dan kegagalan diperhitungkan maka |
DOT lebih murah dibandingkan SAT. Walaupun pada awal biayanya agak tinggi, DOT |
adalah strategi yang lebih efektif dibanding SAT karena dapat menghasilkan angka |
kesembuhan yang tinggi setelah terapi awal, dan sehubungan dengan itu biaya |
pengobatan menjadi lebih sedikit berkaitan dengan kegagalan terapi dan resistensi obat. |
Analisa biaya dan keefektifan ini sangat mendukung usaha penggalakkan penerapan dari DOT. (*) |
SEBELUM TERLAMBAT |